Selasa, 19 April 2016

KEPEMIMPINAN



Dalam pandangan Islam, seorang pemimpin adalah orang yang diberi amanat oleh Allah SWT. Untuk memimpin rakyat, yang di akhirat kelak akan dimintai pertanggungjawabanya oleh Allah SWT. Dengan demikian, meskipun seorang pemimpin dapat meloloskan diri dari tuntutan rakyatnya, karena ketidakadilannya, misalkan, ia tidak akan mampu meloloskan diri dari tuntutan Allah SWT. Kelak di akhirat.
Oleh karena itu seorang pemimpin hendaknya jangan menganggap dirinya sebagai manusia super yang bebas berbuat dan memerintah apa saja kepada rakyatnya. Akan tetapi, sebaliknya, ia harus berusaha memosisikan dirinya sebagai pelayan dan pengayom masyarakat, sebagaimana firman-Nya dalam surat Asy-Syu’ara: 215 :
“Rendahkanlah sikapmu terhadap pengikutmu dari kaum mukminin”.
Dalam sebuah hadis yang diterima dari Siti Aisyah dan diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nbai SAW. Pernah berdoa, “Ya Allah, siapa yang akan menguasai sesuatu dari urusan umatku lalu mempersulit mereka, maka persulitlah baginya. Dan siapa yang mengurusi umatku dan berlemah lembut pada mereka, maka permudahlah baginya.
Hal itu menunjukkan bahwa Allah dan Rasul-Nya sangat peduli terhadap hambanya agar terjaga dari kezaliman para pemimpin yang kejam dan tidak bertanggung jawab. Pemerintah yang kejam dikategorikan sebagai sejahat-jahatnya pemerintah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“A’idz bin Amru r.a. ketika memasuki rumah Ubaidilah bin Ziyad, ia berkata, hai anakku saya telah mendengar Rasulullah SAW. Bersabda, “Sesungguhnya sejahat-jahatnya pemerintahan yaitu yang kejam, maka janganlah kau tergolong dari mereka.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Oleh karena itu, agar kaum muslim terhindar dari pemimpin yang zalim, berhati-hatilah dalam memilih seorang pemimpin, pemilihan pemimpin harus betul-betul didasarkan pada kualitas, integritas, loyalitas, dan yang paling penting adalah perilaku keagamaannya. Jangan memilih mereka karena didasarkan rasa emosional, baik karena ras, suku bangsa ataupun keturunan karena jika mereka tidak dapat memimpin, rakyatlah yang akan merasakan kerugiannya.
Menurut M. Qurais Shihab, dari celah ayat-ayat Al-Qur’an ditemukan sedikitnya dua pokok sifat yang harus disandang oleh seseorang yang memikul suatu jabatan yang berkaitan dengan hak-hak masyarakat. Kedua hal tersebut harus diperhatikan dalam menentukan seorang pemimpin. Salah satu ayat yang menerangkan tentang hal itu adalah ungkapan putrid Nabi Syu’aib yang dibenarkan dan diabadikan dalam Al-Qur’an:
“Sesungguhnya orang yang paling baik engkau tugaskan adalah yang kuat lagi dipercaya”
(Q.S. Al-Qashash:26)
Begitu pula AL-Qur’an mengabadikan alas an pengangkatan Yusuf sebagai kepala badan logistic sebagaimana dinyatakan dalam ayat :
“Sesungguhnya engkau menurut penilaian kami adalah seorang yang kuat lagi dipercaya”.
Kedua criteria itu yang menjadi landasan utama ketika Abu Bakar r.a. menunjuk Zain bin Tsabit sebagai ketua panitia pengumpulan Mushaf.. alasannya antara lain tersirat dalam ungkapannya, “Engkau seorang pemuda (kuat lagi bersemangat) dan telah dipercaya oleh Rasulullah SAW. untuk menulis wahyu. Bahkan Allah SWT. Pun memilih Jibril sebagai pembawa wahyu-Nya, antara lain, karena malaikat Jibril memiliki sifat kuat dan terpercaya. (Q.S. 82;19-21)
Pemimpin yang memiliki dua sifat tersebut, sangat kecil kemungkinan untuk berbuat zalim. Ia selalu berbuat dan bertindak sesuai degnan aspirasi rakyat.
Kedudukan seorang pemimpin sangat tinggi dalam agama Islam, sehingga ketaatan kepada mereka pun disejajarkan dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasulullah, dan orang yang memegang pemerintahan dari kamu.” (Q.S. An-Nisa:59)
Sesuai dengan ayat di atas, Rasulullah SAW. bersabda:
“Abu Hurairah r.a. berkata, Rasulullah SAW. telah bersabda, Barang siapa yang taat kepadaku, berarti taat kepada Allah, dan barang siapa yang melanggar padaku berarti melanggar kepada Allah. Dan siapa yang taat pada pimpinan berarti taat kepadaku, dan siapa yang maksiat kepada pimpinan berarti maksiat padaku.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Hal itu menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus ditaati walaupun seorang budak hitam umpamanya.   Segala perintah dan perkataannya harus ditaati oleh semua bawahannya, sebagaimana dinyatakan dalam hadis:
“Anas r.a. berkata, Rasulullah SAW telah bersabda, “Dengarlah dan taatilah meskipun yang terangkat dalam pemerintahanmu adalah seorang budak Habasyiah yang kepalanya bagaikan kismis.”
Namun demikian, bukan berarti ketaatan ynag tanpa batas karena kwajiban taat kepada seorang pemimpin hanyalah dalam hal-hal yang tidak berhubungan dengan kemaksiatan (dosa). Apabila pemimpin  memerintahkan bawahannya untuk berbuat dosa, perintah itu tidaklah wajib ditaati, bahkan bawahannya harus mengingatkannya.
Dalam kehidupan nyata, tidak jarang terdapat seorang pemimpin menyalahgunakan kekuasaaan guana mencapai keinginan dan kepuasan  hawa nafsunya. Tidak jarang pula, untuk menggapai cita-citanya tersebut, dia memerintahkan kepada para bawahannya (rakyatnya) untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang sebenarnya dilarang oleh agama. Terhadapa perintah demikian, Islam melarang untuk menaatinya.
Dalam hadis lain disebutkan bahwa Rasulullah SAW. pernah memerintahkan seorang bekas budak untuk menggunakan kulit kambing yang telah mati, tetapi budak tersebut tidak menuruti perintah Rasulullah SAW. ia beranggapan bahwa menggunakan kulit kambing adalah haram sebagaimana diharamakan memakannya. Nabi kemudian menjelaskan kepadanya bahwa mempergunakan kulit binatang yang mati tidak diharamkan.
Sikap bekas budak tersebut menunjukkan bahwa ia tidak mau taat kepada pemimpin sekalipun kepada Rasulullah SAW., kalau ia menganggap perintah tersebut untuk melakukan perbuatan maksiat. Ia mengangap bahwa Rasulullah memerintahkannya untuk berbuat maksiat dengan menyuruhnya mempergunakan kulit kambing yang mati.
Disarikan dari: Al-Hadis, Aqidah, Akhlaq, Sosial, dan Hukum karya Prof.Dr. Rahmat Syafe’I M.A.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar