Dalam
pandangan Islam, seorang pemimpin adalah orang yang diberi amanat oleh Allah
SWT. Untuk memimpin rakyat, yang di akhirat kelak akan dimintai
pertanggungjawabanya oleh Allah SWT. Dengan demikian, meskipun seorang pemimpin
dapat meloloskan diri dari tuntutan rakyatnya, karena ketidakadilannya,
misalkan, ia tidak akan mampu meloloskan diri dari tuntutan Allah SWT. Kelak di
akhirat.
Oleh
karena itu seorang pemimpin hendaknya jangan menganggap dirinya sebagai manusia
super yang bebas berbuat dan memerintah apa saja kepada rakyatnya. Akan tetapi,
sebaliknya, ia harus berusaha memosisikan dirinya sebagai pelayan dan pengayom
masyarakat, sebagaimana firman-Nya dalam surat Asy-Syu’ara: 215 :
“Rendahkanlah
sikapmu terhadap pengikutmu dari kaum mukminin”.
Dalam
sebuah hadis yang diterima dari Siti Aisyah dan diriwayatkan oleh Imam Muslim,
Nbai SAW. Pernah berdoa, “Ya Allah, siapa yang akan menguasai sesuatu dari
urusan umatku lalu mempersulit mereka, maka persulitlah baginya. Dan siapa yang
mengurusi umatku dan berlemah lembut pada mereka, maka permudahlah baginya.
Hal
itu menunjukkan bahwa Allah dan Rasul-Nya sangat peduli terhadap hambanya agar
terjaga dari kezaliman para pemimpin yang kejam dan tidak bertanggung jawab. Pemerintah
yang kejam dikategorikan sebagai sejahat-jahatnya pemerintah, sebagaimana sabda
Rasulullah SAW:
“A’idz
bin Amru r.a. ketika memasuki rumah Ubaidilah bin Ziyad, ia berkata, hai anakku
saya telah mendengar Rasulullah SAW. Bersabda, “Sesungguhnya sejahat-jahatnya
pemerintahan yaitu yang kejam, maka janganlah kau tergolong dari mereka.” (HR.
Bukhori dan Muslim)
Oleh
karena itu, agar kaum muslim terhindar dari pemimpin yang zalim,
berhati-hatilah dalam memilih seorang pemimpin, pemilihan pemimpin harus
betul-betul didasarkan pada kualitas, integritas, loyalitas, dan yang paling
penting adalah perilaku keagamaannya. Jangan memilih mereka karena didasarkan
rasa emosional, baik karena ras, suku bangsa ataupun keturunan karena jika
mereka tidak dapat memimpin, rakyatlah yang akan merasakan kerugiannya.
Menurut
M. Qurais Shihab, dari celah ayat-ayat Al-Qur’an ditemukan sedikitnya dua pokok
sifat yang harus disandang oleh seseorang yang memikul suatu jabatan yang
berkaitan dengan hak-hak masyarakat. Kedua hal tersebut harus diperhatikan
dalam menentukan seorang pemimpin. Salah satu ayat yang menerangkan tentang hal
itu adalah ungkapan putrid Nabi Syu’aib yang dibenarkan dan diabadikan dalam
Al-Qur’an:
“Sesungguhnya
orang yang paling baik engkau tugaskan adalah yang kuat lagi dipercaya”
(Q.S.
Al-Qashash:26)
Begitu
pula AL-Qur’an mengabadikan alas an pengangkatan Yusuf sebagai kepala badan logistic
sebagaimana dinyatakan dalam ayat :
“Sesungguhnya
engkau menurut penilaian kami adalah seorang yang kuat lagi dipercaya”.
Kedua
criteria itu yang menjadi landasan utama ketika Abu Bakar r.a. menunjuk Zain
bin Tsabit sebagai ketua panitia pengumpulan Mushaf.. alasannya antara lain
tersirat dalam ungkapannya, “Engkau seorang pemuda (kuat lagi bersemangat) dan
telah dipercaya oleh Rasulullah SAW. untuk menulis wahyu. Bahkan Allah SWT. Pun
memilih Jibril sebagai pembawa wahyu-Nya, antara lain, karena malaikat Jibril
memiliki sifat kuat dan terpercaya. (Q.S. 82;19-21)
Pemimpin
yang memiliki dua sifat tersebut, sangat kecil kemungkinan untuk berbuat zalim.
Ia selalu berbuat dan bertindak sesuai degnan aspirasi rakyat.
Kedudukan
seorang pemimpin sangat tinggi dalam agama Islam, sehingga ketaatan kepada
mereka pun disejajarkan dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana
firman-Nya:
“Hai
orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasulullah,
dan orang yang memegang pemerintahan dari kamu.” (Q.S. An-Nisa:59)
Sesuai
dengan ayat di atas, Rasulullah SAW. bersabda:
“Abu
Hurairah r.a. berkata, Rasulullah SAW. telah bersabda, Barang siapa yang taat
kepadaku, berarti taat kepada Allah, dan barang siapa yang melanggar padaku
berarti melanggar kepada Allah. Dan siapa yang taat pada pimpinan berarti taat
kepadaku, dan siapa yang maksiat kepada pimpinan berarti maksiat padaku.” (H.R.
Bukhari dan Muslim)
Hal
itu menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus ditaati walaupun seorang budak
hitam umpamanya. Segala perintah dan perkataannya harus ditaati
oleh semua bawahannya, sebagaimana dinyatakan dalam hadis:
“Anas
r.a. berkata, Rasulullah SAW telah bersabda, “Dengarlah dan taatilah meskipun
yang terangkat dalam pemerintahanmu adalah seorang budak Habasyiah yang
kepalanya bagaikan kismis.”
Namun
demikian, bukan berarti ketaatan ynag tanpa batas karena kwajiban taat kepada
seorang pemimpin hanyalah dalam hal-hal yang tidak berhubungan dengan
kemaksiatan (dosa). Apabila pemimpin
memerintahkan bawahannya untuk berbuat dosa, perintah itu tidaklah wajib
ditaati, bahkan bawahannya harus mengingatkannya.
Dalam
kehidupan nyata, tidak jarang terdapat seorang pemimpin menyalahgunakan
kekuasaaan guana mencapai keinginan dan kepuasan hawa nafsunya. Tidak jarang pula, untuk
menggapai cita-citanya tersebut, dia memerintahkan kepada para bawahannya
(rakyatnya) untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang sebenarnya dilarang oleh
agama. Terhadapa perintah demikian, Islam melarang untuk menaatinya.
Dalam
hadis lain disebutkan bahwa Rasulullah SAW. pernah memerintahkan seorang bekas
budak untuk menggunakan kulit kambing yang telah mati, tetapi budak tersebut
tidak menuruti perintah Rasulullah SAW. ia beranggapan bahwa menggunakan kulit
kambing adalah haram sebagaimana diharamakan memakannya. Nabi kemudian
menjelaskan kepadanya bahwa mempergunakan kulit binatang yang mati tidak
diharamkan.
Sikap
bekas budak tersebut menunjukkan bahwa ia tidak mau taat kepada pemimpin
sekalipun kepada Rasulullah SAW., kalau ia menganggap perintah tersebut untuk
melakukan perbuatan maksiat. Ia mengangap bahwa Rasulullah memerintahkannya
untuk berbuat maksiat dengan menyuruhnya mempergunakan kulit kambing yang mati.
Disarikan
dari: Al-Hadis, Aqidah, Akhlaq, Sosial, dan Hukum karya Prof.Dr. Rahmat Syafe’I
M.A.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar